Selasa, 17 Desember 2019.
Perjalanan panjang dari kota Duri
menuju kota Bengkalis kami lalui dengan penuh kehangatan bersama keluarga. Kami
mulai berangkat sekitar pukul 5.30 pagi, padahal rencana awal, langsung
berangkat setelah sholat subuh. Untuk pertama kalinya anakku Dysha dan Aqsha
berkunjung ke kota ini ( Bengkalis).
Mereka sangat antusias karena nanti kami akan melewati penyeberangan dengan menggunakan kapal Verry (Roro). Ini merupakan pengalaman pertama mereka.
Mereka sangat antusias karena nanti kami akan melewati penyeberangan dengan menggunakan kapal Verry (Roro). Ini merupakan pengalaman pertama mereka.
Masih pagi
Meskipun kendaraan melaju dengan
kecepatan rata-rata di atas 60 kami merasa nyaman karena jalan yang dilewati
begitu mulus. Tidak banyak kendaraan lain yang melewati jalan darat menuju kota
Bengkalis ini. Apalagi kami memilih hari Selasa, jalan raya itu seakan milik
pribadi.
Pernah aku mendengar cerita, kalau mau ke Bengkalis melalui darat jangan hari Senin atau Jumat karena biasanya hari itu pengguna jalan dan jasa kapal roro sangat ramai.
Pernah aku mendengar cerita, kalau mau ke Bengkalis melalui darat jangan hari Senin atau Jumat karena biasanya hari itu pengguna jalan dan jasa kapal roro sangat ramai.
Yah…
Sampai di penyeberangan. Dengan
semangat kedua anakku mulai dengan aksinya masing-masing. Yang besar Dysha
mulai mengeluarkan telepon genggamnya untuk berfoto. Saat itu aku harus jadi
fotografernya. Dengan berbagai pose, dia mengabadikan selama berada di roro
melalui handphonenya. Yang kecil, Aqsha sibuk juga melihat ke kiri dan kanan,
sebab hamparan laut sangat jelas di matanya. Banyak pertanyaan yang muncul dari
bibir mungilnya.
Lebih kurang satu jam kami berada
di kapal dan menikmati kekuasaan Illahi Robbi. Semoga menambah rasa syukur
kami.
Alhamdulillah…
Tepat jam 12 siang urusan ku
selesai. Banyak sekali kemudahan yang diberikan padaku. Petugas atau karyawan
yang membantuku memang memberikan pelayanan terbaik. Satu hal yang selalu aku
ambil hikmahnya. “Mudahkan urusan orang lain maka Allah yang akan memudahkan
urusanmu”.
Singgah sejenak di pantai kota
Bengkalis. Biasalah, di sana kami mulai mengambil beberapa foto dengan angle
yang berbeda. Apalagi anak gadisku. Pasti deh memory HP nya mulai full.
Hehehehe.. biasanya foto yang bagus akan di posting pada IG pribadinya.
Jam 3 sore
Serasa sudah puas menikmati kota
Bengkalis, kami mulai beranjak dan menuju ke penyeberangan kembali. Pulang ke
Duri. Besok tugasku sudah menumpuk. Raport semester 1 untuk tahun ajaran 2019/2020
harus selesai.
Perjalanan Pulang
Sebenarnya hari itu, adalah hari
penilaian kelas. Tiba-tiba aku teringat untuk berkomunikasi dengan rekan sesama
guru.
“ Mah, sudah mulai penilaian
kelas?”. Percakapan pembuka dengan bu Fatimah, salah satu guru cantik di
sekolah kami. Dia rajin, masih muda dan tentunya mau berbagi.
“ Sudah buk, tapi Imah gak datang
pas penilaian”.
“ Ok Mah, gak pa pa, yang penting
kita sudah mulai berusaha dan berbenah”. Ku jawab dengan ringkas.
“Banyak kita yang kurang buk”.
Lanjut Fatimah lagi… hehehe tadi panggil bu sekarang panggil nama aja. (Soalnya
Fatimah itu masih muda sekali lho)
Dan akhirnya matahari mulai pamit pada langit
untuk kembali ke peraduannya. Tinggallah bias-bias warna kehidupan hari itu
yang selalu menyaksikan kita berjuang.
Kami menunaikan sholat magrib seraya memohon
pada Illahi Robbi. Berkeluh kesah dengaNya. Sebab kerja belum usai. Janji belum
tunai.
Pikiranku Mulai Melayang
Dalam perjalanan itu, aku kok
mulai berfikir jauh ya. Ku ingat-ingat kembali ke belakang (alur mundur nih
yeee).
Iya.. tidak apa-apa, apa yang
kita lakukan kemarin merupakan pengalaman untuk perbaikan ke depan. Banyak
sekali harapanku pada siswaku. Di grup WA kelas kami, selalu aku ingatkan, kita
akan berbenah.
Kita akan membuat pojok baca sebagai salah satu cara untuk memotivasi siswa untuk gemar membaca. Ku pinta mereka untuk mempersiapkan di rumah. Kuberharap mereka mulai kreatif untuk menjadikan kelas mereka lebih nyaman dan indah. Ku menginginkan mereka bisa memanfaatkan barang-barang bekas menjadi tepat guna sehingga tidak perlu mengeluarkan banyak dana.
Kita akan membuat pojok baca sebagai salah satu cara untuk memotivasi siswa untuk gemar membaca. Ku pinta mereka untuk mempersiapkan di rumah. Kuberharap mereka mulai kreatif untuk menjadikan kelas mereka lebih nyaman dan indah. Ku menginginkan mereka bisa memanfaatkan barang-barang bekas menjadi tepat guna sehingga tidak perlu mengeluarkan banyak dana.
Harapan Belum Sesuai dengan Kenyataan
Mengeluh.. ku mengeluh pada
kemampuanku. Ada apa denganku. Sudah gagalkah diriku???
Kendaraan kian lalu lalang. Lampu-lampu setia
melaksanakan tugasnya. Bulan dan bintang tidak muncul malam itu. Hanya ada jiwa yang ingin berjuang. Berjuang
untuk masa depan siswaku yang cemerlang.
Ya… iya, harapan belum sesuai
dengan kenyataan. Itu yang aku rasakan saat itu. Sampai akhirnya topik tersebut
menjadi pembicaran kami ( aku dan suami )
“Kok anak-anak sekarang kurang
peduli ya bang?” kok mereka tidak termotivasi untuk menjadikan kelas mereka
lebih baik”
Spontan suamiku menjawab, “ Itu
salah siapa?”
Tidak menunggu waktu lama keluar
kata-kata “ guru” dari mulutku. Yess, salah guru ya. Oh ya, motivasi seperti apa yang dibutuhkan
anak-anak sekarang???
Ini yang menjadi PR serius yang
harus kusingkap.
Selanjutnya, aku harus terus
menerus belajar
Perjalanan berakhir kembali di
rumah kami.
Cerita Indah Sebelum Pembagian Rapor
Cenat cenut kepala…
Bermain angka…
Hal ini merupakan tugas rutin
yang harus dilakukan setiap guru. Guru bidang studi akan memberikan hasil penilaian
selama satu semester kepada wali kelas. Nanti wali kelaslah yang akan merekap
semua nilai yang sudah diberikan oleh guru bidang studi.
Akhirnya siswa akan mendapatkan nilai rapor mereka. Namun yang menjadi dilema bagi guru adalah proses pemberian penilaian tersebut. Setidaknya hal itu yang selalu aku rasakan setiap semester. Hampir 15 tahun mengajar.
Sulit???
Tentu saja.
Bahkan lebih sulit memberikan penilaian dibanding mengajar di kelas.
Akhirnya siswa akan mendapatkan nilai rapor mereka. Namun yang menjadi dilema bagi guru adalah proses pemberian penilaian tersebut. Setidaknya hal itu yang selalu aku rasakan setiap semester. Hampir 15 tahun mengajar.
Sulit???
Tentu saja.
Bahkan lebih sulit memberikan penilaian dibanding mengajar di kelas.
Terkadang masalah penilaian ini
juga menjadi perbincangan serius dalam rapat dinas. Berbagai pendapat dan
pertimbangan merupakan masukan dalam membuat keputusan.
Kesimpulan ku. Angka bukanlah segala-galanya.
Raport adalah buku yang berisi
keterangan mengenai nilai kepandaian dan prestasi belajar murid di sekolah. Fungsi
dari raport itu sendiri adalah:
1 . Sebagai
pengukur kepandaian dari siswa.
2 . Bagi
sekolah, raport merupakan tolok ukur apakah kurikulum sudah memenuhi standar
atau belum.
3 . Bagi
orang tua, raport berfungsi sebagai acuan prestasi anaknya di sekolah.
Suatu ketika, seorang siswa
mendekat dan bertanya, “ kok nilai raport kami sekelas hampir sama semua”?
Apa yang harus dijawab?? Bagus dong,
berarti kemampuan kalian seimbang. Yah, ada yang menjawab begitu. ( hanya
sebagai ilustrasi)
Terkadang nilai si Badu yang
malas belajar hampir sama dengan si Badri yang rajin belajar.
Aku termenung.
Sepanjang perjalanan mengajar,
aku mulai menemukan empat jenis nilai dalam raport.
1 . Nilai
Fiktif.
Apa maksudnya
nilai fiktif???
Nilai yang sama
sekali tidak bersumber dari data-data yang merupakan rekam jejak prestasi
belajar siswa. Terkadang guru bertindak semauanya dalam memberikan penilaian. Ada
juga yang tidak memeriksa hasil ualangan atau hasil ujian siswa.
2 . Nilai
semi imajinatif
Nilai ini
diberikan dengan rujukan seadanya. Biasanya seorang guru tidak mengenal
kemampuan semua peserta didiknya. Yang dikenal hanya siswa yang pintar dan
berperilaku baik sehinggga mendapatkan nilai bagus atau siswa yang berperilaku negative
sehingga diberikan nilai rendah.
3 . Nilai
semi autentik
Nilai semi
autentik adalah nilai yang diberikan guru dari hasil pengolahan nilai yang
sudah memadai namun karena mengejar KKM nilai-nilai itu diolah kembali. Adanya konversi
nilai sehingga hasil akhirnya lebih tinggi dari aslinya.
4 . Nilai
autentik murni
Nilai autentik
murni adalah nilai yang diberikan berdasarkan hasil yang diperoleh oleh peserta
didik. Sepertinya sangat sulit kita temukan.
Ayo… termasuk yang manakah
kita???
Tersenyum dulu yah
Sepertinya kita jenis nomor tiga,
betul??? Iya, aku lebih cenderung nomor 3. Prinsip aku adalah langkah awalnya
harus menuliskan dulu nilai asli siswa kemudian sama-sama diproses. Artinya,
jika ada nilai siswa yang diangkat, semuanya harus diangkat dengan kapasitas
yang sama.
Lalu muncul lagi masalah.
Jika nilai asli siswa yang rajin
belajar dapat nilai 95 sementara nilai asli yang malas belajar adalah 50,
berapa angka yang harus diangkat???
Mulai nyut…nyut deh.
Barangkali ini permasalahan kita
semua.
Oleh sebab itu, angka yang
tertera di raport bukanlah segala-galanya. Semuanya butuh proses. Hanya butuh
pemikiran positif dalam hal ini. Meskipun kata mereka “bertentangan dengan hati”.
Apa daya, begitulah kemampuan kita.
Harapan dan doa…
Apa yang dilakukan selalu
bernilai ibadah.
Jika sekarang mereka kurang peduli,
semoga kelak mempunyai kesadaran diri. Hingga kesuksesan menjadi miliknya nanti.
Selalu ada cinta di hati kita.
Selalu ada cinta di hati kita.
43 Komentar
Benar banget mbak, angka memang bukan segalanya. Dulu saya punya teman selalu berprestasi namun ketika kami sudah memilih jalan yang berbeda, teman sya ternyata karirnya tidak secemerlang prestasinya di kala sekolah.
BalasHapusIya mba...jadi jangan berkecil hati jika anak kita belum dapat rangking dan nilai yang tinggi.
HapusWhoaa, mind blowing asli baca tulisannya. Saya pikir guru kalau ngasih nilai ya dari hasil ujian saya. Ternyata puyeng juga mereka, salut kepada yg bersedia menjadi guru. Selamat Hardiknas ya Bu Guru!
BalasHapusSama- sama mba. Pokoknya setiap terima raport pastinya mulai sakit kepala..
HapusSebelumnya saya ingin mengucapkan selamat hari pendidikan nasional ya mba. Hehehe. Saya jadi ingat mamah mertua saya yang selalu pusing setiap mau mengisi rapor. Mama bakal sangat sibuk menimbang nilai murid-murid di kelasnya. Memang, pendidikan sekolah sekarang tidak lagi berorientasi nilai, tapi nilai kejujuran guru dalam memberikan nilai murid itu juga hal yang gak kalah penting.
BalasHapusBener banget mba..kadang guru dihadapkan pada persoalan yang sulit untuk dipecahkan..
HapusPernah baca di bukunya Goleman tentang Emotional Intelligence. Orang2 kita memang terlalu terpaku pada angka. Padahal ada yang lebih penting dari itu. Dan hal2 yang menunjang survivor skill seorang anak itu kadang memang nggabisa diukur dengan angka 0 sampai 100,karena prosesnya memang jangka panjang dan nggabisa disampaikan antara anak 1 dan lainnya. Btw selamat berlibur mba
BalasHapusTerima kasih mba... Angka bukanlah segala- galaunya.
HapusAku pernah diposisi itu kaka, galau mau ngangkat nilai anak-anak yang nilainya dibawah standar. Serba salah, padahal pengennya kasih nilai yang real tapi yo kok gak tega juga.
BalasHapusIya mba, kadang memang sangat sulit posisi kita.
Hapusibu aku guru mbak, kalau dirumah pas lembur ngerjain raport siswanya wuihh banyak kali, guru di desa waktu itu bisa mengajar di dua-tiga kelas.
BalasHapusIya mba... Kalau sudah mau ujian dan bagi raport pastinya lebih sibuk..
Hapussama aja ternyata ya di pendidikan tinggi tempat sy ngajar jg gitu.. krna yg dikejar prestise nama lembaga ketimbang kompetensi yg sbnrnya..beginilah sistem pendidikan kita mba..
BalasHapusMudah- mudahan masa yang akan datang lebih baik lagi.
Hapusberkesan sekali perjalanannya ya, walaupun hanya satu jam di dalam kapal, bisa banyak mengambil foto...
BalasHapusIya mba...Alhamdulillah..
HapusApalagi sekarang ini WFH dan kuliah online. Sulit banget menilai, semua serba digital yang dikirim ke dosen, termasuk ujian-ujian. Semangat yaa Bu Guru...
BalasHapusSama- sama. Moga kita tetap sehat dalam menjalankan tugas.
HapusDulu semasa jadi siswa, aku sering merasa 'dicurangi' karena ada angka teman-teman yang nilai sehari-hari jelek, tapi di rapor bisa tertera bagus. Andaikan saja bangsa kita tidak semata menjadikan nilai di rapor sebagai patokan kesuksesan di masa depan, guru-guru bisa menuliskan nilai apa adanya. Orangtuaku pun masih terpaku pada harus rangking satu. Dan ini menyiksa.
BalasHapusGagal pada satu mata pelajaran, bukan kah setiap orang punya potensi unggul dari dirinya masing-masing?
Begitu nggak sih, Bu Guru? :)
Bener banget mba.. masing2 anak punya bakat dan kemampuan yang berbeda- beda.
HapusTernyata tidak mudah ya memberikan nilai angka di raport siswa. Banyak pertimbangan. Sering dengar sih bahwa angka bukan segala-galanya. Tapi kenyataannya di negeri ini, angka masih dipertaruhkan untuk mendapatkan peringkat di kelas, juga untuk mendapatkan sekolah lanjutan. Jadi gimana dong?
BalasHapusItulah yang menjadi dilemanya mba Wiwin... Moga masa yang akan datang semua kita memahami bahwa angka bukanlah segalanya.
HapusAku guru juga mbak dan ngerasain banget ini. Haha.. Seandainya kita nggak memandang raport diatas segalanya, mungkin guru akan lebih bahagia. Toh kecerdasan anak beda2 dan kesuksesan tidak selalu ditentukan raport. Semoga Indonesia lebih baik mumpung menterinya baru.
BalasHapusSetuju sekali mba... Aamiin..
HapusSelamat hari pendidikan bu guru..
BalasHapusDulu pas masih sekolah, suka bantuin guru nulisin nilai raport,
Terus aku suka bertanya, aku yg nulis aja pusing gimana guru yg nentuin nilai ya,
Ternyata beneran pusing ya mbak
Haha,
Btw aku punya sodara di Duri dan temen sma dulu di medan tinggal di bengkalis, hihi
Iya mba... Moga suatu saat kita bisa bertemu di duri ya mba..
Hapusnilai dan rapot ini memang salah satu alat indikator keberhasilan belajar siswa dan guru. yang menjadi dilema kian hari semakin byk orang mendewakan nilai krn penentu kelulusan. maka dari itu memang plg enak rapot bukan angka ya... kaya rapot tk semua deskriptif hihi
BalasHapusIya mba... Sekarang sudah dimulai dengan menuliskan deskripsinya..
Hapus"Oleh sebab itu, angka yang tertera di raport bukanlah segala-galanya. Semuanya butuh proses." Sepakat dengan kalimat ini Mbak. Kita gak bisa lihat dari nilai rapor semata, banyak aspek penting lainnya
BalasHapusBenar mba... Perlu kita semua pahami bahwa angka bukanlah penentu kesuksesan seorang anak
HapusDi tempat ibuku juga gitu mbak, kadang beliau suka galau pas ngasih nilai pake penilaian yang sama, poin ketiga yang mbaknya jabarkan. :) Tapi masih aja dapet protes dari orang tua yang merasa anaknya lebih unggul dari anak yang lain apalagi anaknya diikutkan les ehehe.
BalasHapusSetuju aku sama pernyataan kalau angka di raport itu bukanlah segala-galanya.
Terima kasih atas apresiasinya mba..
HapusBetul banget k, pandemi ini menjadi kejadian yang luar biasa memang, semua hal berdampak oleh wabah covid-19 ini. Semoga para guru bisa terus semangat dan memberikan nilai dengan bijak ya k.
BalasHapusTerima kasih mba... Insyaallah..
HapusSepakat, semi autentik. Sebab nilai akhir kan dari banyak faktor. Kolaborasi antara pengetahuan, sikap, dan keterampilan. hehe
BalasHapusIya mas... Moga ke depannya jauh lebih baik..
HapusSepakat, angka bukanlah segala-galanya.
BalasHapusTetap semangat menjalani profesi sebagai guru.
Saya pernah ke Duri, kotanya luamayan ramai juga ya, tapi belum sampai nyeberang ke bengkalis
Insyaallah tetap semangat. Semoga lain waktu kita bisa berjumpa ya mba say.
HapusBegitu repotnya menjadi seorang guru ya buk, salut saya. Ternyata menjadi seorang guru tidaklah mudah, semangat buk demi mencerdaskan bangsa ini.
BalasHapusDulu, dulu banget, aku selalu berpikir nilai raport itu udah yang enentukan jalan hidup kita. Tapi setelah memasuki dunia kampus pendapat itu runtuh. Nilai itu hanya angka yang bisa berubah tergantung kondisi saat kita mengerjakan tugas. Tapi proses belajar dan pengalaman yang menurutku menentukan arah hidup kita. Sekarang aku mengajarkan hal tersebut pada anakku. Memiliki nilai bagus itu penting, tapi lebih penting lagi proses dan pengalaman sehari-hari.
BalasHapusJiwa guru yang luar biasa
BalasHapusYng inginmemperjuangkan mimpi para murid
Duli citacitaku juga guru
Bener dah pusing mengkatrol dan menimbang untuk raport. Paling susah itu jika ngasih nilai untukuntuk anak se tingkat SD di pedesaan karena terkadang yang malas jawab sembarang yg mereka anggap lelucon😐
BalasHapusselamat hari pendidikan mbak, aduh aku telat buka artikelnya
BalasHapusternayta guru tuh dilema juga pas isi raport yaa,, aku juga dlu yg berpendapat nilai di raport tuh penting bgt, ya krna jadi tolak ukur kemampuan pribadi si